AGAMA, ETIKA DAN SISTEM EKONOMI
Abstract
Para pemikir ilmu sosial beranggapan bahwa kode etika universal yang mendasari ekonomi modern adalah utilitarianisme, khususnya ajaran dari Jeremy Bentham.[1] Dengan demikian, upaya yang harus dilakukan adalah, melakukan islamisasi, baik pada ilmu dan sistem ekonominya. Tapi, pendapat Jeremy Bentham tidaklah sepenuhnya benar. Tatkala menggagas sistem ekonomi Islam, al-Nabhani menyatakan tentang perlunya membedakan antara ilmu ekonomi -- yang sebagian besarnya adalah bebas nilai, dengan sistem ekonomi. Ilmu ekonomi membahas hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produksi, kualitas, dan kinerja. Kebanyakan ilmu-ilmu semacam ini bebas nilai dan bersifat universal. Contohnya, ilmu akuntansi, ia adalah ilmu yang bebas nilai dan tidak terpengaruh oleh pandangan hidup tertentu. Sedangkan sistem ekonomi sudah melibatkan tata nilai tertentu, misalnya; ideologi, pandangan hidup, norma dan etika. Hal-hal yang berhubungan dengan sistem distribusi barang dan jasa merupakan bagian dari sistem ekonomi. Islam melarang menimbun barang, dan beredarnya riba di tengah-tengah aktivitas ekonomi. Pandangan semacam ini berbeda dengan pandangan sistem ekonomi kapitalime dan sosialisme. Karena itu, islamisasi ilmu, harus diarahkan pula kepada reformasi sistem ekonomi yang tidak bebas nilai, diganti dengan sistem dan nilai-nilai yang Islami.
[1] Tentang paham utilitarianisme Bentham; baca Mark A. Lutz & Kenneth Lux; The Chlange of Humanistic Economics; California: The Benjamin Cummings Publishing.Co.Inc,Menlo Park, 1979, h.32-33. Paham Bentham ini sampai pada perumusan yang berkaitan dengan ilmu ekonomi, antara lain telah disempurnakan oleh John Stuart Mills, yang merumuskan arti utilitas sebagai kebahagiaan untuk sebanyak-banyak orang.